Sponsors

20 Januari 2016

Hadits Al-Mudallas

Telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu, hadits mardûd (yang tertolak) secara garis besar disebabkan oleh dua hal; yang pertama adalah perawi yang gugur dalam sanad (as saqth min al isnâd), dan yang kedua adalah celaan pada diri sang perawi (ath tha’n fi ar râwi).

As-saqth min al-isnâd terbagi kepada saqth dzhâhir dan saqth khafiy.

Diantara bentuk saqth dzhâhir adalah al-mu’allaq, al-mu’dhal, al-mursal dan al-munqathi’, dan penjelasannya telah berlalu, alhamdulillah.

Adapun saqth khafiy, maka dia terbagi dua bagian yaitu al-mudallas dan al-mursal al-khafiy.

Berikut adalah penjelasannya dan kita mulai dengan pembahasan jenis pertama, al-mudallas.

Al-mudallas (المُدَلَّس) berasal dari kata “tadlîs” yang bermakna menyembunyikan aib suatu barang dari calon pembeli. Asal kata tadlîs diambil dari kata “ad-dalas” yang bermakna gelap atau campuran kegelapan. Seakan-akan al-mudallis (pelaku tadlîs) ingin menggelapkan perkara sebenarnya yang ada pada hadits sehingga hadits tersebut menjadi kabur (mudallas).

Menurut istilah, al-mudallas adalah menyembunyikan aib dalam sanad dan memperbagus lahirnya.

Penjelasannya; seorang mudallis menutupi aib dalam sanad, yaitu inqithâ’ yang terdapat dalam sanad, dengan menggugurkan nama syaikhnya dan meriwayatkannya langsung dari syaikh syaikhnya (guru dari gurunya), dan dia membuat siasat untuk menyembunyikan hal itu; membaguskan lahir sanadnya yaitu dengan menunjukkan kepada orang yang melihat sanad tersebut seakan-akan sanad itu bersambung (muttashil), tidak ada perawi yang gugur.

Pembagian Tadlîs

Tadlîs secara garis besar terbagi dua;

1. Tadlîs al-isnâd dan
2. Tadlîs asy-syuyûkh.

Tadlîs al-Isnâd (تدليس الاسناد)

Tadlîs al-isnâd adalah sebuah kasus dimana seorang perawi meriwayatkan sesuatu (hadits) yang tidak pernah dia dengarkan dari orang yang pernah dia dengarkan periwayatannya (dalam hadits-hadits lainnya), tanpa secara tegas menyebutkan bahwa dia pernah mendengarkan (hadits) itu darinya.

Untuk lebih jelasnya; seorang perawi pernah mendengarkan sebagian hadits dari seorang syaikh. Kemudian dia meriwayatkan dari syaikh tersebut sebuah hadits, yang sebenarnya hadits itu tidak pernah dia dengarkan langsung dari syaikh itu, namun dia dengarkan dari syaikh yang lain, yang mendengarkannya dari syaikh pertama tadi. Si perawi kemudian menggugurkan nama syaikh kedua dan meriwayatkannya langsung dari syaikh pertama dengan redaksi yang mengandung kemungkinan terjadinya pendengaran tersebut atau yang semacamnya, seperti perkatannya : “Berkata Syaikh” atau “Dari Syaikh”, untuk memperdayai orang lain bahwa ia telah mendengarkannya secara langsung. Akan tetapi ia tidak secara jelas menyebutkan bahwa ia mendengarkan hadits itu dari syaikh tersebut. Dia tidak mengatakan dengan redaksi periwayatan yang jelas seperti : “Saya mendengar” atau “Telah menceritakan kepadaku”, yang tujuannya agar jangan sampai ia menjadi seorang perawi yang berstatus “kadzdzâb” (pendusta). Syaikh yang digugurkan dalam sanad bisa satu atau lebih dari satu orang.

Contoh dari mudallas adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya sampai kepada Ali bin Khasyram ia berkata : “Telah berkata kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari az-Zuhri…” Ditanyakan pada Ibnu ‘Uyainah : “Engkau mendengarnya dari az-Zuhri?” Ia menjawab : “Tidak, dan tidak juga dari orang yang mendengarkannya dari az-Zuhri… Telah menceritakan kepadaku Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari az-Zuhri…”

Dalam contoh sanad tersebut, Ibnu ‘Uyainah telah menggugurkan dua perawi antara dirinya dengan az-Zuhri.

Tadlîs at-Taswiyah (تدليس التسوية)

Jenis tadlîs seperti ini sebenarnya termasuk dalam jenis tadlîs al-isnâd.

Tadlîs at-taswiyah[1] adalah riwayat seorang perawi dari syaikhnya, kemudian ia menggugurkan nama seorang perawi dha’if (lemah) diantara dua perawi tsiqah (terpercaya) yang salah satunya pernah berjumpa dengan yang lainnya.

Gambarannya : seorang tsiqah meriwayatkan sebuah hadits dari seorang perawi dha’if, dari seorang yang tsiqah. Dan kedua perawi tsiqah tersebut pernah saling berjumpa. Maka datanglah perawi mudallis yang telah mendengarkan hadits dari tsiqah pertama, ia menghilangkan/menggugurkan perawi dha’if yang berada dalam sanad dan menyambungkan sanad dari syaikhnya yang tsiqah tadi meriwayatkan dari tsiqah yang kedua dengan menggunakan redaksi periwayatan yang mengandung kemungkinan tersebut. Maka jadilah seluruh sanad diriwayatkan semuanya oleh perawi-perawi yang tsiqah.

Jenis tadlis seperti ini adalah jenis yang paling buruk, karena tsiqah yang pertama bisa saja orang yang tidak dikenali sebagai orang yang suka melakukan tadlis, sehingga orang yang melihat sanad itu akan mengira bahwa tsiqah tersebut benar-benar meriwayatkannya dari orang yang tsiqah juga, sehingga akhirnya dihukumi sebagai hadits shahih. Yang seperti ini adalah bentuk penipuan yang sangat buruk.

Diantara para perawi yang terkenal suka melakukan tadlis seperti ini adalah Baqiyyah ibnul Walid dan al-Walid bin Muslim.

Contohnya :

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam al-‘Ilal, ia berkata : Saya mendengar ayahku –dan ia menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahoyah, dari Baqiyyah ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb al-Asadi, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, hadits,

لا تحمدوا إسلام المرء حتى تعرفوا عقدة رأيه

Janganlah kamu memuji Islam seseorang hingga kamu mengetahui tentang pokok pemikirannya

Ibnu Abi Hatim berkata : Ayahku berkata : Hadits ini memiliki perkara yang sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr, dari Ishaq bin Abi Farwah[2], dari Nafi’[3], dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ.

Ubaidullah bin ‘Amr tsiqah. Kuniyahnya Abu Wahb, berasal dari Bani Asad (al-Asadi). Maka Baqiyyah menggunakan kuniyahnya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak ada yang mengenalinya, sehingga ketika Baqiyyah menggugurkan Ishaq bin Abi Farwah (yang dha’if), tidak ada yang menyadarinya.

Tadlîs asy-Syuyûkh (تدليس الشيوخ)

Tadlîs asy-syuyûkh adalah seorang perawi meriwayatkan dari syaikhnya sebuah hadits yang ia dengarkan langsung darinya, dan ia menyebutkan nama syaikhnya tersebut, atau kuniyahnya, atau menisbatkannya atau mensifatkannya dengan nama, kuniyah, penisbatan atau sifat yang syaikh tersebut tidak terkenal dengannya yang memang tujuannya agar ia tidak dikenali.

Jadi pada hakikatnya, dalam kasus ini tidak ada perawi yang digugurkan dan sanad tetap bersambung, namun ada usaha untuk menutupi nama syaikh yang sebenarnya, kuniyahnya atau sifatnya.

Itulah yang diinginkan oleh mudallis (pelaku tadlîs); mensifatkan gurunya dengan sesuatu yang tidak atau kurang dikenali agar tidak dikenali.

Hal ini ia lakukan dikarenakan aib yang bisa merusak reputasinya sebagai perawi hadits, seperti status “lemah” (dha’f) yang ada pada diri syaikh, atau karena usia syaikhnya yang lebih muda dari si perawi dan lain-lain.

Contohnya adalah perkataan Abu Bakr bin Mujahid, seorang imam ahli qira’ah. Ia meriwayatkan dari Abu Bakr Abdullah bin Abu Dawud as-Sijistani dan berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…”; dan ia meriwayatkan dari Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy dan berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sanad…”, dengan menisbatkannya kepada nama kakeknya.



Hukum Tadlîs

Tadlîs al-isnâd sangatlah dibenci. Banyak ulama yang mencelanya. Syu’bah adalah salah satu imam yang sangat membenci perbuatan tersebut. Diantara perkataan Syu’bah tentang tadlîs adalah : “Tadlîs adalah saudara kedustaan.”

Tadlîs at-taswiyah lebih buruk statusnya dari tadlîs al-isnâd. Al-Iraqi mengatakan tentang perbuatan ini : “Tadlîs taswiyah merupakan cela/aib bagi orang yang sengaja melakukannya.”

Adapun tadlîs asy-syuyûkh, maka statusnya lebih ringan daripada tadlîs al-isnâd, karena mudallis tidak menggugurkan seorang pun dari sanad. Para ulama membenci tadlîs jenis ini disebabkan pengabaian terhadap riwayat dengan menyembunyikan hakikat sebenarnya dari sanad terhadap orang yang mendengarkan riwayat tersebut. Berat tidaknya status ketidak-sukaan ulama terhadap tadlîs jenis ini akan berbeda sesuai dengan motif si pelaku tadlîs.

(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

————————

Footnotes :
[1] Dari kata ( سَوَّى/يُسَوِّي ) yang bermakna menyama-ratakan
[2] Dha’if
[3] Ubaidullah tsiqah sebagaimana disebutkan, Nafi’ seorang tabi’i yang tsiqah.

0 tanggapan:

Posting Komentar