Sponsors

27 Oktober 2015

Hadits Mursal

Menurut istilah, hadits al-mursal (المُرسل) adalah hadits yang gugur pada akhir sanadnya perawi yang setelah Tabi’iy.[1]

Perawi yang setelah tabi’iy adalah shahabiy[2]. Akhir dari sebuah sanad adalah penghujungnya yang padanya terdapat nama shahabat.

Contoh

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dalam Kitâb al Buyû’, ia berkata,

حدثني محمد بن رافع، ثنا حُجين، ثنا الليث، عن عُقيل، عن ابن شهاب، عن سعيد بن المسيب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزابنة

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hujain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah melarang jual beli muzâbanah.[3]

Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang Tabi’in senior. Ia telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi tanpa menyebutkan perantara antara dirinya dengan Nabi . Ia telah menghilangkan perawi yang berada di akhir sanad, yaitu perawi yang setelah tabi’i. Minimal, as-saqth (yang gugur) dalam sanad tersebut adalah seorang shahabat, dan kemungkinan juga terdapat yang lainnya, yaitu tabi’i yang seperti Ibnul Musayyib.



Hukum Hadits Mursal

Pada asalnya, hadits mursal adalah hadits lemah yang tertolak, karena hilangnya salah satu syarat diterimanya sebuah hadits yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidakjelasan (jahâlah) keadaan perawi yang gugur dari sanad, karena bisa jadi perawi tersebut adalah bukan seorang shahabat.

Akan tetapi, para ulama dari kalangan ahli hadits dan yang selain mereka berselisih tentang hukum mursal. Jenis inqithâ’ (terputusnya sanad) ini berbeda dengan yang lainnya yang terjadi dalam sanad. Karena yang hilang/gugur dari sanadnya umumnya adalah seorang shahabat, dan seluruh shahabat adalah orang-orang yang terpercaya, dan tidak disebutkannya nama mereka dalam sanad sama sekali tidak menjadi celaan bagi ‘adâlah mereka.

Perselisihan para ulama tentang hukum hadits mursal bisa disimpulkan dalam tiga pendapat berikut,

1. Dha’if dan tertolak, menurut pendapat mayoritas para ahli hadits, ulama ushul dan ahli fiqh. Alasan mereka adalah dikarenakan jahâlah pada diri perawi yang tidak dsebutkan dalam sanad, dan juga kemungkinan bahwa ia bukanlah seorang shahabat.

2. Shahih dan bisa dijadikan hujjah, menurut pendapat sebagian ulama, termasuk para imam; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Tetapi dengan syarat, mursil (orang yang melakukan irsâl) adalah seorang yang tsiqah (sangat terpercaya), dan dia tidak meriwayatakan hadits mursal tersebut kecuali dari orang yang tsiqah. Alasan mereka bahwa seorang tabi’in tsiqah tidak mungkin mengatakan : “Bersabda Rasulullah ” kecuali jika dia mendengarnya dari seorang yang tsiqah.

3. Diterima dengan beberapa syarat. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan beberapa ulama.

Syarat-syarat tersebut ada empat; tiga pada diri perawi yang meriwayatkan mursal tersebut dan satu pada haditsnya yang mursal. Yaitu,

a. Yang meriwayatkan hadits mursal tersebut adalah dari kalangan kibâr at-tâbi’în (tabi’in senior)

b. Jika dia menyebutkan perawi yang dia riwayatkan mursal itu darinya, maka dia akan menyebutkan nama seorang yang tsiqah. Jika dia ditanya tentang perawi yang dia gugurkan dalam sanad, maka dia akan menyebutkan nama seorang yang tsiqah.

c. Jika para perawi yang huffadz dan terpercaya ikut meriwayatkan hadits bersamanya, maka mereka tidak menyelisihinya dalam riwayat tersebut. Dalam makna, bahwa perawi itu adalah seorang yang dhabth-nya sempurna.

d. Ditambahkan pada ketiga syarat tersebut hal-hal berikut ini :

- Haditsnya diriwayatkan dari jalan periwayatan yang lain secara musnad (bersambung)

- Atau, haditsnya diriwayatkan dari jalan periwayatan yang lain secara mursal, yang dia mengambilnya dari para perawi yang lain, yang bukan perawi-perawi orang yang meriwayatkan mursal pertama

- Atau, haditsnya selaras dengan perkataan/pendapat seorang shahabat

- Atau, banyak dari para ulama yang telah berfatwa dengan konsekuensi hadits tersebut

Mursal Shahâbiy (المرسل الصحابيّ)

Mursal shahâbiy adalah hadits yang diriwayatkan seorang shahabat dari perkataan Nabi atau perbuatan beliau, namun shahabat itu tidak pernah mendengarkannya secara langsung atau menyaksikannya. Entah karena usianya yang masih kecil, atau keterlambatan keislamannya, atau ketidakhadirannya pada kejadian tertentu. Yang seperti ini sangat banyak dari para shahabat kecil (shighâr ash shahâbah) semisal Ibnu Abbas, Ibnu az-Zubair dan lain-lain.

Hukum Mursal Shahâbiy

Pendapat yang paling shahih dan masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa hadits mursal yang diriwayatkan seorang shahabat adalah hadits shahih dan bisa dijadikan hujjah (dalil). Karena, riwayat seorang shahabat dari seorang tabi’in sangatlah jarang, dan andai pun seorang shahabat meriwayatkannya dari seorang tabi’in, dia pasti akan menjelaskannya. Jika shahabat itu tidak menjelaskannya dan berkata : “Bersabda Rasulullah …”, maka hukum asalnya ia mendengarkannya dari shahabat lainnya. Dan dihapuskannya nama shahabat dari sebuah sanad tidaklah berpengaruh pada keshahihan suatu riwayat.
 
Wallahu a’lam.

———————–

Footnotes :

[1] Tabi’iy (التابعيّ) adalah orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi  dalam keadaan muslim dan wafat diatas Islamnya. Bentuk jama’nya adalah tâbi’ûn/tâbi’în (التابعون)

[2] Shahabiy (الصحابيّ) adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan muslim dan wafat diatas Islamnya, walaupun sempat diselingi oleh kemurtadan. Bentuk jama’nya adalah shahâbah (الصحابة)

[3] Muzabanah adalah jual beli sesuatu tanpa memiliki kejelasan tentang kadar takaran atau timbangannya, hanya dengan perkiraan dan persangkaan

(Sumber : Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

0 tanggapan:

Posting Komentar