Sponsors

10 September 2015

Jeddah Bukan Miqat untuk Haji & Umrah

Dalam pertemuan ke XIV Majelis Haiah Kibâr al-‘Ulamâ yang diselenggarakan di kota Thaif sejak 10/10/1399 H hingga 21/10/1399 H, Majelis mempelajari risalah yang dikirim Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud, Kepala Mahkamah Syar’i dan Urusan Agama di Qatar kepada Yang Mulia Raja Khalid bin Abdil Aziz yang berisi tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat untuk penumpang pesawat terbang dan kapal laut, yang kemudian diteruskan kepada Yang Mulia Ketua Umum Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan oleh Kepala Staf Khusus Raja Khalid dengan surat no. 5214/1 pada 12/5/1399 H.

Majelis telah membaca fatwa tersebut dan mendapatkan fatwa itu bersandar pada (alasan-alasan berikut);
  1. Fatwa akan berubah dengan perubahan keadaan dan zaman
  2. Persoalan ini (yaitu persoalan miqat) adalah persoalan ijtihad, yang menuntut dari para ulama untuk meneliti lebih jauh tentang penetapan miqat-miqat mereka yang datang dengan menggunakan pesawat
  3. Melintasnya pesawat di langit (udara) miqat sementara pesawat itu terbang di udara; maka definisi “datangnya mereka ke miqat yang telah ditentukan” tidaklah terpenuhi pada diri-diri mereka baik dari sisi bahasa maupun ‘urf (adat kebiasaan)
  4. Dakwaannya bahwa fatwanya itu serupa dengan perbuatan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika ia menetapkan Dzatu ‘Irq (sebagai miqat) untuk penduduk Iraq
  5. Perkataannya: “Kalau saja Rasulullah ﷺ hidup dan melihat banyaknya orang yang mendarat dari udara ke tanah Jeddah menuju Baitullah untuk haji dan umrah, niscaya beliau akan bersegera menetapkan miqat mereka dari Jeddah itu sendiri sesuai dengan konsekuensi ushulnya dan dalil-dalilnya.”
Setelah Majelis mempelajari lima perkara ini dan hal-hal lainnya yang terdapat pada risalah tersebut, Majelis memandang bahwa dalih-dalih pembenaran yang dijadikan dalil olehnya tertolak dengan dalil-dalil syar’i dan ijma’ Salaf umat ini.

Al-Bukhary dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah ﷺ telah menetapkan miqat untuk penduduk Madinah, Dzulhulaifah, untuk penduduk Syam, al-Juhfah, untuk penduduk Nejd, Qarn al-Manazil dan untuk penduduk Yaman, Yalamlam. (Beliau bersabda) : Miqat-miqat itu untuk (penduduk) negeri-negeri tersebut, dan untuk orang yang datang kepadanya dari yang selain penduduknya dari orang yang ingin menunaikan haji dan umrah. Siapa yang tinggal di dalam miqat tersebut, maka (tempat ihramnya) dari tempat ia memulai (perjalanan ke Makkah), dan bahkan penduduk Makkah (berihram) dari Makkah.”

Tidak dibenarkan menyandarkan persoalan ini kepada perubahan fatwa dengan berubahnya keadaan dan zaman, karena dia termasuk permasalah ibadah, yang tegak diatas prinsip “at-tauqîf[1]. Sebagaimana juga dia bukanlah tempat untuk berijtihad karena penetapannya dengan nash/dalil dari Rasulullah ﷺ. Dan telah dimaklumi di kalangan ulama bahwa (hukum yang berkait dengan) wilayah udara mengikuti daratannya sebagaimana telah dijelaskan pada tempatnya, dan pengingkaran Syaikh tentang hal itu tidaklah bisa diterima.

Adapun argumennya dengan perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu; Umar tidak pernah (bermaksud) menjadikan sebuah miqat untuk penduduk Iraq di sebelah barat atau arah lainnya dari Makkah yang mereka berihram darinya sebagai ganti dari miqat mereka yang mereka lewati di arah timur Makkah, akan tetapi Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

انظروا حذوها من طريقكم

“Lihatlah yang sejajar dengan miqat itu (Qarn al-Manazil) dari jalan kalian.”[2]

Dan perkataannya : “Kalau saja Rasulullah ﷺ hidup…” hingga perkataannya : “… Niscaya beliau akan bersegera menetapkan miqat mereka dari Jeddah itu sendiri sesuai dengan konsekuensi ushulnya dan dalil-dalilnya”, maka ini adalah perkataan batil. Karena Allah telah menyempurnakan agama di masa hidup rasul-Nya dan pensyari’atan telah selesai dengan wafatnya beliau. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اليَومَ أكْمَلْتُ لَكُم دِيْنَكُم وَأتْمَمْتُ عَلَيكُم نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku sempurnakan nikmatku atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah ayat 3).

Dan firmanNya,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Tuhan-mu tidak pernah lupa.” (QS. Maryam ayat 64).

Dan perkataan (seperti) ini akan berkonsekuensi pada banyak perkara yang berbahaya.

Dengan landasan yang telah dikemukakan, dan setelah merujuk kepada dalil-dalil dan apa yang disebutkan para ulama tentang al-mawâqît al-makâniyyah (miqat-miqat tempat mulai berihram), mendiskusikan persoalan tersebut dari segala sisinya, maka Majelis menetapkan dengan ijma’ sebagai berikut;
  1. Fatwa yang datang dari Yang Mulia Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud, Kepala Mahkamah Syar’i dan Urusan Agama di Qatar yang khusus menyebutkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi penumpang pesawat terbang dan kapal laut adalah fatwa yang batil karena tidak berlandaskan dalil dari Kitab Allah, Sunnah rasul-Nya atau ijma’ Salaf ummat ini. Beliau tidak pernah didahului dalam fatwa itu oleh seorang pun dari para ulama kaum muslimin yang diakui perkataan mereka.
  2. Tidak boleh bagi orang yang melewati salah satu miqat dari al-mawâqît al-makâniyyah atau melintas sejajar dengan salah satunya baik di udara maupun laut, untuk melampauinya tanpa niat ihram sebagaimana yang disebutkan dalil-dalil dan sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama.
Demikian. Wa bi_llâhi at-taufîq.

Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi)

Ketua Majelis : Abdullah bin Muhammad bin Humaid

Anggota : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul Razzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud, Muhammad bin Ali al-Harakan, Abdul Aziz bin Shalih, Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh (berhalangan hadir), Abdul Majid Hasan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah Khayyath, Sulaiman bin Ubaid, Rasyid bin Khunain, Shalih bin Ghushun, Abdullah bin Mani’.

(Sumber : islammessage.com)

Miqat-miqat haji dan umrah

Miqat Qarn al-Manazil, salah satu miqat haji dan umrah
Dibaca juga :
———————

[1] Tauqîf yaitu hanya berlandaskan dalil dan tidak ada lowongan untuk berijtihad padanya.

[2] Umar menetapkan miqat Dzatu ‘Irq dengan melihat sejajarnya tempat itu dengan miqat terdekat yang telah ditetapkan oleh Sunnah yaitu miqat Qarn al-Manazil. Umar tidak asal menetapkannya, namun menyuruh untuk melihat tempat yang sejajar dengan miqat Qarn al-Manazil yang merupakan miqat penduduk Nejd dan negeri-negeri sebelah timurnya.

0 tanggapan:

Posting Komentar