Sponsors

18 Agustus 2015

Hadits Dha’îf

Ad-dha’îf adalah lawan kata dari al-qawiyy (kuat).

Menurut istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat hadits hasan, karena hilangnya salah satu dari syarat-syaratnya.

Istilah dha'if adalah istilah umum yang digunakan untuk semua jenis hadits yang tertolak keshahihannya (al-khabar al-mardûd).

Hadits dha’if memiliki tingkatan yang berbeda-beda selaras dengan kelemahan perawinya, sebagaimana halnya dalam hadits shahih. Diantaranya ada hadits yang adh-dha’îf jiddan, diantaranya adalah al-wâhiy, diantaranya adalah al-munkar, dan yang paling buruknya adalah al-maudhû’ (palsu).

Contoh dari hadits dha’if adalah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dari jalan “Hakim al-Atsram” dari Abu Tamimah al-Hujaimi, dari Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda,

من أتى حائضًا أو امرأةً فى دبرها أو كاهنًا فقد كفر بما أنزل على محمدٍ

Siapa yang mendatangi (menggauli) wanita haid, atau mendatangi wanita di duburnya, atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”

At-Tirmidzi mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini : “Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari haditsnya Hakim al-Atsram, dari Abu Tamimah al-Hujaimi, dari Abu Hurairah.”

Kemudian ia berkata : “Muhammad (yaitu Imam al-Bukhary) mendha’ifkan hadits ini dari sisi sanadnya.”

Hadits ini dilemahkan karena padanya terdapat rawi yang bernama Hakim al-Atsram yang dianggap lemah oleh para ulama. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar tentang orang ini : “Padanya ada kelemahan.”

Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if

Menurut para ulama hadits dan yang selain mereka, boleh meriwayatkan hadits-hadits dha’if, dan mengabaikan sanadnya tanpa penjelasan kelemahannya –selain hadits maudhu’ yang tidak boleh meriwayatkannya kecuali dengan penjelasan kepalsuannya- dengan dua syarat, yaitu :

1. Tidak berkait dengan aqidah, seperti sifat-sifat Allah

2. Tidak berkait dengan penjelasan hukum-hukum Syari’at yang berkait dengan halal dan haram
Yaitu, boleh meriwayatkannya dalam perkara yang seperti nasehat, targhîb dan tarhîb, kisah dan yang semacamnya. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.

Yang perlu diperhatikan, jika Anda meriwayatkannya tanpa penyebutan sanad, selayaknya tidak mengatakan : “Bersabda Rasulullah …”. Akan tetapi, ucapkanlah : “Diriwayatkan dari Rasulullah …”, atau “Telah sampai kepada kami dari beliau…”, dan yang semacamnya.

Tujuannya, agar jangan sampai memastikan penisbatan hadits tersebut kepada Rasulullah sementara Anda mengetahui kelemahannya.

Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if

Ulama berselisih tentang masalah ini. Jumhur ulama mengatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan-keutamaan amal (fadhâ-il al a’mâl), akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu :

1. Kelemahannya tidak terlalu berat

2. Hadits itu memiliki asal dalam hadits shahih yang bisa diamalkan

3. Tidak meyakini kebenarannya dari Rasulullah saat mengamalkannya, yaitu dengan mengambil prinsip kehati-hatian

Kitab-kitab yang Masyhur dalam Penjelasan Hadits-hadits Dha’if

Untuk kitab yang ditulis berkait dengan penjelasan para perawi yang dha’if seperti kitab adh-Dhu’afâ’ oleh Ibnu Hibban dan Mîzân al-I’tidâl oleh adz-Dzahabi.

Sementara kitab yang ditulis dalam beberapa jenis hadits dha’if secara khusus seperti kitab al-Marâsil oleh Abu Dawud dan kitab al-‘Ilal oleh ad-Daruquthni.

(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

0 tanggapan:

Posting Komentar